Dalam teori fungsional struktural,
sistem sosial terintegrasi berlandas pada dua hal yakni: Suatu masyarakat senantiasa
terintegrasi diatas tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar anggota
masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat universal, dan
Masyarakat terintegrasi juga karena berbagai anggota masyarakat sekaligus
menjadi anggota berbagai kesatuan sosial yang berfungsi menetralisir konflik
yang terjadi dari sebab adanya loyalitas ganda.[1]
Wirth menjelaskan bahwa untuk mencapai
persatuan, integrasi, mufakat ataupun kebulatan pada masyarakat maka menurutnya
alat-alat komunikasi sebagai satu-satunya faktor penyebab kemufakatan tersebut;[2]
Mufakat tidak hanya didukung dan
dijaga oleh ikatan saling bergantung dan oleh sebuah dasar budaya umum tetapi
oleh jaringan institusi yang memasukkan tradisi yang telah ada dalam masyarakat
dan nilai-nilai standar serta norma dimana mereka dapat menentukan dan
mengimplementasikan, tidak hanya oleh faktor hidup bersama dan
saling tergantung, tetapi juga oleh kelanjutan arus komunikasi massa yang
sesuai dengan hadirnya atau adanya beberapa bentuk masyarakat pendahulu yang mengikat
masyarakat tersebut untuk hidup bersama dan mengerahkan kepada kegiatan yang
berkelanjutan.
Geertz juga menyatakan bahwa aspek-aspek
kebudayaan primordial dalam kebudayaan Jawa masih bertahan pada masa kini dan
berkembangnya kebudayaan nasional sebagai faktor yang ikut mewujudkan integrasi
sosial. Menurut Durkheim, integrasi sosial itu sering diidentikkan dengan istilah
solidaritas sosial yang diklasifikasikannya menjadi dua yakni solidaritas
organik dan mekanik;[3]
a. Solidaritas mekanik,
didasarkan pada kesadaran pada suatu “kesadaran kolektif” bersama yang menunjuk
pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment bersama yang rata-rata ada
pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas semacam ini tergantung pada
individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan
dan pola normatif yang sama pula.
b. Solidaritas organik muncul karena
pembagian kerja bertambah besar solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi.
Dalam teorinya Parsons
menganalogikan perubahan sosial dalam masyarakat seperti halnya pertumbuhan
pada makhluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi.
Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem
yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi
masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat
tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan
hidupnya. Dapat dikatakan, Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis
sebuah proses perubahan.[4]
Tonnies menyebutkan bahwa integritas,
kebersamaan dikalangan para anggota dipersatukan dan disemangati oleh karena adanya
ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya. Beliau menyatakan bahwa
semua persekutuan hidup yang dinamakan Gemeinschaft itu keluarga, oleh
karenanya ketiga soko guru yang menyokong Gemeinschaft diantaranya; Darah
Gemeinschaft by blood seperti; keluarga, kelompok kerabat. Tempat tinggal atau
tanah Gemeinschaft of place, dan Jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan dan
persahabatan Gemeinschaft of mind.[5]
Gemeinschaft sering dipahami sebagai
perjanjian atau kontrak, dalam tipe ini kebersamaan dan integrasi berasal dari faktor-faktor
lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang dan lain sebagainya, sehingga
kepentingan dari tiap individu lebih menonjol dibandingkan dengan tipe
Gemeinschaft yang mampu membentuk suatu kesatuan hidup yang memiliki unsur kesatuan
dan kolektivitas lebih menonjol. Karena Gemeinschaft bentuk kehidupan bersama dimana
anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan
kekal.
Integrasi sosial memang persoalan
menarik dan penting, setidaknya teori-teori sosial mengenai integrasi, accelerator
faktor integrasi sosial menjelaskan masyarakat yang berkembang dipedesaan
maupun perkotaan. Desa adalah sebuah pengertian sosial atau konsep yang merujuk
pada orang-orang atau sekumpulan individu yang saling berhubungan antara satu sama
lain yang tinggal di suatu tempat di luar daerah perkotaan. Hubungan sosial
masyarakat pedesaan biasanya didasarkan pada kekuatan ikatan tali persaudaraan,
kekeluargaan dan ikatan perasaan secara psikologis. Hubungan-hubungan sosial
pedesaan mencerminkan kesatuan-kesatuan kelompok yang didasari hubungan kekerabatan
atau garis keturunan.[6]
Upaya integrasi nasional dengan strategi
yang mantap perlu dilakukan terus agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang
diinginkan. Rencana pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu,
karena pada hakikatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat
kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya persatuan
dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya kemakmuran, keamanan
dan ketenteraman. Jika melihat konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan
Barat, dan Papua merupakan cermin dari belum terwujudnya integrasi nasional
yang diharapkan selama ini.
Integrasi merupakan salah satu topik
menarik untuk dikaji, untuk menjelaskan bagaimana berbagai elemen masyarakat menjaga
kesatuan dan terintegrasi satu dengan yang lain. Hakikat integrasi dalam lingkungan
komunikasi terjadi melalui cara membangun solidaritas sosial dalam kelompok
atau pun golongan dalam islam dan dapat menjalani kehidupan dalam kebersamaan. Dan
integrasi sosial mengacu pada suatu keadaan dalam masyarakat dimana orang-orang
saling berhubungan. Masyarakat sebagai suatu tatanan sistem yang komplek dalam berbagai
kebutuhan memberi ruang bagi terciptanya integrasi sosial bagi kelangsungan
hidup anggota masyarakat itu sendiri. Integrasi soial tercipta dalam masyarakat
karena rasa solidaritas sosial. Solidaritas sosial diperlukan dalam masyarakat pluralisme
agama. Solidaritas sosial ini akan mengarah pada fungsionalisme stuktural yang
merupakan teori konsensus, yang dipelopori Herbet Spencer, Emile Durkheim, Bronislaw
Malinowski, Redcliffe Brown, Talcott Parsons dan Robert K Merton. Tapi di penelitian
ini penulis fokus pada teori yang dikemukakan Talcott Parsons tentang
funsionalisme struktural.
[1] Nasikun,
Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali Perss, 1988), 64.
[2] David L.Silis
(ed), International Encyclopedia of the Sosial Sciences, Vol.7 (New York: The
Macmillan Company & The Free Press, 1986), 383
[3] Doyle Paul Johnson, Teori Sosial Klasik dan Modern,
terj. Robert. M.Z. Lawang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 181-184.
[4] K. Dwi Susilo, Rahmad, 20 Tokoh Sosiologi
Modern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 107-109.
[5] K. J. Veeger, Realitas Sosial, Refleksi
Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), 127-132.
[6] Soerjono Soekanto ,Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1982), 138.