Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Ada beberapa hal dari rumusan di atas yang perlu diperhatikan:
a. Maksud dari seorang pria dengan seorang wanita adalah bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.
b. Sedangkan suami isteri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
c. Dalam definisi tersebut disebut pula tujuan perkawinan yang membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perwakinan temporal sebagai mana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
d. Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
Menurut Soemiyati menyebutkan perjanjian dalam perkawinan ini mengandung 3 karakter khusus.
a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua belah pihak.
b. Kedua belah pihak yang mengikat perjanjian perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian perkawinan berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Persetujuan perkawinan ini pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya. Menurut Mr. Wirjono Prodjojodikoro perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan biasa adalah persetujuan biasa semua pihak berhak menentukan sendiri pokok perjanjian asalkan sesuai
Dengan peraturan dan tidak melanggar asusila, sedangkan persetujuan perkawinan isi dari perjanjian perkawinan sudah ditentukan oleh hukum.
Suatu perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat bisa dibatalkan. Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 22 menegaskan: “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Dan pasal 27 ayat 1 “Seseorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum”.
Lebih lanjut disebutkan dalam undang-undang republic Indonesia No 1 Tahun 1947 pasal 6 ayat (1) tentang syarat perkawinan menyebutkan bahwa: “Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah calon”. Jadi perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan kedua calon suami dan isteri seperti kawin di bawah umur yang didesak oleh masyarakat atas dasar hukum adat yang terjadi di desa Labuhan adalah batal dan menyalahi peraturan Islam dan perundang-undangan tentang syarat perkawinan.
Pada pasal 5 ayat (1) menyebutkan: “Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana disebut dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari suami isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan terhadap kebutuhan hidup isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan suami berlaku adil terhadap isterinya.
Selanjutnya terkait dengan pernikahan dini dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi:
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan Belas) tahun dan pihak wanita sudahh mencapai umur 16 (Enam Belas) tahun”.
Apabila tidak mencapai usia tersebut, maka dapat melangsungkan perkawinan kecuali ada dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang telah ditempuh oleh kedua wali orang tua kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan UU pasal 7 ayat 2 yang berbunyi : “Dalam hal penyimpangan terdadap ayat 1 pasal ini dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diajukan oleh kedua tua pria atau wanita”.
Tentang batas umur perkawinan di Indonesia pada pasal 7 UU perkawinan (No.1 Tahun 1974 pasal 7) yang berbunyi :
Ayat 1 : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan Belas) tahun dan pihak wanita sudahh mencapai umur 16 (Enam Belas) tahun”.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan terhapap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita
Ketentuan batas usia ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Perkawinan ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan Undang-undang Perkawinan, bahwa calon suami istri harus telah matang jiwa raganya , agar dapat mewujutkan tujuan perkawinan secara baik. Disampaing itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran semakain tinggi.
Meskipun demikian terdapat di beberapa daerah masih masih saja banyak terjadi pernikahan di bawah umur dan hal ini dikarenakan beberapa sebab antara lain :
a. Pada daerah-daerah yang umumnya hidup dari pertanian, orang tua si gadis membutuhkan tenaga penolong yang dapat dipercaya untuk urusan-urusan yang penting, yang sebetulnya orang tua si gadis tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karenanya anak perempuannya merasa perlu untuk segera dicarikan jodoh.
b. Pernikahan di bawah umur karena pengaruh ekonomi, faktor ini yang paling banyak karena orang tua si gadis sangat miskin dan anak perempuannya cepat-cepat dikawinkan agar tidak selalu menjadi beban bagi hidupnya.
c. Kedua orang tuanya merasa kurang mampu mengawasi anaknya, khawatir jikaanak gadisnya terpengaruh oleh pergaulan yang tidak baik, yang hal itu akan mengakibatkan malu dan merusak nama baik orang tuanya.
Dengan demikian mencegah terjadinya perkawinan usia muda akan dapat meminimalisir adanya perceraian dini. Selain itu adapun faktor-faktor adanya pernikahan dini sebagai berikut :
a. Faktor Sosial
Perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan suami istri untuk hidup bersama tentulah bukan ikatan yang statis belaka melainkan suatu ikatan yang memberi peluang pada keduanya untuk berkembang, bergaul dan tumbuh, akan tetapi tidak selamanya ikatan yang dinamis dan harmonis itu bisa berjalan dengan baik. Hal ini di sebabkan karena perkawinannya dilaksanakan pada usia yang relatif muda., dimana mereka harus terpaksa melaksanakan perkawinan sehingga mereka terpaksa berhenti di tengah jalan dalam menyelesaikan studinya.
Disamping itu pergaulan remaja yang tidak terkontrol cendrung lebih bebas seiring dengan itu pula para pelajar SD sudah banyak yang mengenal rokok, kemudian meningkat ke minuman keras dan tidak jarang diantara mereka turut berbaur di tengah orang-orang dewasa untuk main kartu dengan bertaruhkan uang. Mereka juga sudah mengenal pacaran dan kebanyakan dari mereka menjalin hubungan dengan teman seusianya.
Hal lain yang menjadi penyebap pernikahan dini adalah pengaruh-pengaruh budaya dari luar seperti pergaulan dengan remaja lainnya dari luar lingkungan dimana meraka tinggal. Hal ini tekait remaja di lingkungan setempat.
Akhirnya para pemudanya pun sedikit demi sedikit meninggalkan adat istiadad (kebiasaan) yang selama ini dilakukan oeh warga masyarakat.
b. Faktor Ekonomi
Laki-laki dan perempuan dapat menikah hanya dengan melakukan akad nikah saja. Sementara resepsinya ditunda setelah selesai pendidikannya. Mereka menikah tetap tinggal bersama orang tua. Mereka dapat bertemu dan melakukan dan hubungan seksual dengan menggunakan sarana kontrasepsi yang halal untuk menunda kehamilan. Hal ini dapat terhindar dari dosa dan perkawinan mereka
bebas dari tanggung jawab.
Dengan adanya pernnikahan dini, ada anggapan dari masyarakat pedesaan akan adanya tambahan finansial yakni pendapatan dari sang suami atau minimal tambahan tenaga untuk mendukung kerja baik kerja di sektor pertanian dan sektor lainnya.
c. Faktor Biologis
Pernikahan dini sering terjadi karena terjadi hubungan yang telah terjalin lama baik hubungan kedua orang tua mereka maupun kedua calon mempelai, hal ini mempengarui terhadap pola pikirnya, bahwa jika seandainya mereka tidak segera dikawinkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang secara spikologis terjadi ketakutan akan terjadi akibat yang lebih buruk terhadap diri anaknya khususnya terhadap anak gadisnya.
Disamping itu ada kecendrungan masyarakat tentang pendidikan agama, yang prospeknya tidak secerah pendidikan umum, orang tua sebagian cendrung melarang anak gadisnya melanjutkan ke pesantren selepas lulus SD setelah 1-2 tahun di pesantren baru diambil kembali kemudian dikawinkan karena mereka dianggap telah mampu berumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar