Rabu, 09 Mei 2018

Perkawinan Menurut Hukum Positif

Dalam  Undang-undang  perkawinan  No.  1  Tahun  1974,  dalam  pasal  1 merumuskan pengertian sebagai berikut:

Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dan  seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

Ada beberapa hal dari rumusan di atas yang perlu diperhatikan:
a. Maksud dari  seorang pria dengan  seorang wanita  adalah bahwa perkawinan  itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.
b. Sedangkan  suami  isteri mengandung  arti  bahwa perkawinan  itu  adalah bertemunya dua  jenis  kelamin  yang berbeda  dalam  suatu  rumah  tangga,  bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
c. Dalam definisi  tersebut disebut pula tujuan perkawinan yang membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan  sekaligus perwakinan  temporal sebagai mana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
d. Disebutkan  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  menunjukkan  bahwa perkawinan  itu  bagi  Islam  adalah  peristiwa  agama  dan  dilakukan  untuk memenuhi perintah agama.

Menurut  Soemiyati  menyebutkan  perjanjian  dalam  perkawinan  ini mengandung 3 karakter khusus.
a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua belah pihak.
b. Kedua belah pihak yang mengikat perjanjian perkawinan  itu  saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian perkawinan berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.

c. Persetujuan  perkawinan  itu  mengatur  batas-batas  hukum  mengenai  hak  dan kewajiban masing-masing pihak.
Persetujuan perkawinan  ini pada dasarnya  tidaklah  sama dengan persetujuan yang  lainnya,  misalnya persetujuan  jual  beli,  sewa  menyewa dan  lain-lainnya. Menurut Mr. Wirjono Prodjojodikoro perbedaan  antara persetujuan perkawinan  dan persetujuan biasa  adalah  persetujuan biasa  semua  pihak  berhak menentukan  sendiri pokok perjanjian asalkan sesuai


Dengan  peraturan  dan  tidak  melanggar  asusila,  sedangkan  persetujuan perkawinan isi dari perjanjian perkawinan sudah ditentukan oleh hukum.

Suatu  perkawinan  yang  tidak  memenuhi  rukun  dan  syarat  bisa dibatalkan. Undang-undang No 1  Tahun  1974  pasal  22  menegaskan:  “Perkawinan  dapat dibatalkan  apabila  para  pihak  tidak  memenuhi  syarat-syarat  untuk  melangsungkan perkawinan”.

Dan  pasal  27  ayat  1  “Seseorang  suami  atau  isteri  dapat  mengajukan permohonan  pembatalan  perkawinan  dilangsungkan  di bawah  ancaman  yang melanggar hukum”.

Lebih lanjut disebutkan dalam undang-undang republic Indonesia No 1 Tahun 1947 pasal 6  ayat  (1)  tentang  syarat perkawinan menyebutkan bahwa:  “Perkawinan harus  didasarkan  pada  persetujuan  kedua  belah  calon”.  Jadi  perkawinan  yang dilakukan  tanpa  persetujuan  kedua  calon  suami  dan  isteri  seperti  kawin  di  bawah umur  yang  didesak  oleh  masyarakat  atas  dasar  hukum  adat  yang  terjadi  di  desa Labuhan adalah  batal  dan  menyalahi  peraturan  Islam  dan  perundang-undangan tentang syarat perkawinan.

Pada pasal 5 ayat (1) menyebutkan: “Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan  sebagaimana  disebut  dalam  pasal  4  ayat  (1)  undang-undang  ini,  harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari suami isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan terhadap kebutuhan hidup isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan suami berlaku adil terhadap isterinya.

Selanjutnya terkait dengan pernikahan dini dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi:
“Perkawinan  hanya  diizinkan  jika pihak  pria  sudah  mencapai  umur  19 (Sembilan Belas)  tahun  dan  pihak wanita  sudahh mencapai  umur  16  (Enam Belas) tahun”.

Apabila  tidak  mencapai  usia  tersebut,  maka dapat  melangsungkan perkawinan  kecuali  ada dispensasi dari  pengadilan  atau  pejabat  lain  yang  telah ditempuh oleh kedua   wali orang  tua kedua belah pihak. Hal  ini  sesuai dengan UU pasal 7 ayat 2  yang berbunyi  :  “Dalam hal penyimpangan  terdadap  ayat 1 pasal  ini dapat  diminta  dispensasi  kepada  pengadilan  atau  pejabat lain  yang diajukan  oleh kedua tua pria atau wanita”.

Tentang  batas  umur  perkawinan  di  Indonesia  pada  pasal  7 UU  perkawinan (No.1 Tahun 1974 pasal 7) yang berbunyi :
Ayat  1  :  “Perkawinan  hanya  diizinkan  jika  pihak  pria  sudah  mencapai  umur  19 (Sembilan  Belas)  tahun  dan  pihak  wanita  sudahh  mencapai  umur  16 (Enam Belas) tahun”.
Ayat  2  :  Dalam  hal  penyimpangan  terhapap  ayat  (1)  pasal  ini  dapat  meminta dispensasi kepada pengadilan dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita

Ketentuan  batas  usia  ini,  seperti  disebutkan  dalam Kompilasi Hukum  Islam  pada pasal 15 ayat  (1)   didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah  tangga.  Perkawinan  ini  sejalan  dengan  prinsip  yang  diletakkan  Undang-undang Perkawinan, bahwa calon suami  istri harus  telah matang jiwa raganya  , agar dapat  mewujutkan  tujuan  perkawinan  secara  baik.  Disampaing  itu  perkawinan mempunyai  hubungan  dengan masalah  kependudukan.  Ternyata  batas  umur    yang rendah  bagi  seorang  wanita  untuk  kawin,  mengakibatkan  laju  kelahiran  semakain tinggi.

Meskipun  demikian  terdapat  di  beberapa  daerah  masih  masih  saja  banyak terjadi pernikahan di bawah umur dan hal ini dikarenakan beberapa sebab antara lain :
a. Pada  daerah-daerah  yang  umumnya  hidup dari  pertanian,  orang  tua  si  gadis membutuhkan  tenaga penolong yang dapat dipercaya untuk urusan-urusan yang penting, yang sebetulnya orang tua si gadis tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karenanya anak perempuannya merasa perlu untuk segera dicarikan jodoh.
b. Pernikahan  di  bawah  umur  karena  pengaruh  ekonomi,  faktor    ini  yang  paling banyak karena orang  tua si gadis   sangat miskin dan anak perempuannya cepat-cepat dikawinkan agar tidak selalu menjadi beban bagi hidupnya.
c. Kedua orang  tuanya merasa  kurang mampu mengawasi  anaknya,  khawatir  jikaanak  gadisnya  terpengaruh  oleh  pergaulan  yang  tidak  baik,  yang  hal    itu  akan mengakibatkan malu dan merusak nama baik orang tuanya.

Dengan  demikian  mencegah  terjadinya  perkawinan  usia  muda  akan  dapat meminimalisir adanya perceraian  dini. Selain  itu  adapun faktor-faktor    adanya pernikahan dini sebagai berikut :
a. Faktor Sosial
Perkawinan  pada  dasarnya    merupakan  ikatan  suami  istri    untuk  hidup bersama  tentulah  bukan  ikatan  yang  statis  belaka melainkan  suatu  ikatan  yang memberi peluang pada keduanya untuk berkembang, bergaul dan  tumbuh, akan tetapi  tidak  selamanya  ikatan  yang  dinamis  dan  harmonis  itu  bisa  berjalan dengan baik. Hal ini di sebabkan karena perkawinannya dilaksanakan pada   usia yang  relatif  muda.,  dimana  mereka  harus  terpaksa  melaksanakan perkawinan sehingga  mereka  terpaksa  berhenti  di  tengah  jalan  dalam  menyelesaikan studinya.

Disamping  itu  pergaulan  remaja  yang  tidak  terkontrol  cendrung  lebih bebas  seiring  dengan  itu  pula  para  pelajar  SD sudah  banyak  yang mengenal rokok, kemudian meningkat ke minuman keras dan tidak jarang diantara mereka turut  berbaur  di  tengah  orang-orang  dewasa  untuk  main  kartu dengan bertaruhkan  uang. Mereka  juga  sudah mengenal  pacaran  dan  kebanyakan  dari mereka menjalin hubungan dengan teman seusianya.

Hal  lain  yang  menjadi  penyebap  pernikahan  dini  adalah  pengaruh-pengaruh  budaya  dari  luar  seperti  pergaulan  dengan  remaja  lainnya  dari  luar lingkungan dimana meraka tinggal. Hal ini tekait remaja di lingkungan setempat.

Akhirnya  para  pemudanya  pun  sedikit  demi  sedikit  meninggalkan  adat istiadad (kebiasaan) yang selama ini dilakukan oeh warga masyarakat.
b. Faktor Ekonomi
Laki-laki dan  perempuan  dapat menikah  hanya  dengan melakukan  akad nikah saja. Sementara resepsinya ditunda setelah selesai pendidikannya. Mereka menikah tetap tinggal bersama orang tua. Mereka dapat bertemu dan melakukan dan hubungan seksual dengan menggunakan sarana kontrasepsi yang halal untuk menunda kehamilan. Hal  ini  dapat  terhindar dari  dosa  dan  perkawinan mereka
bebas dari tanggung jawab.

Dengan adanya pernnikahan dini, ada anggapan dari masyarakat pedesaan akan adanya tambahan finansial yakni pendapatan dari sang suami atau minimal tambahan  tenaga  untuk  mendukung  kerja  baik  kerja  di  sektor  pertanian  dan sektor lainnya.

c. Faktor Biologis
Pernikahan dini  sering  terjadi  karena  terjadi hubungan  yang  telah  terjalin lama baik hubungan kedua orang tua mereka maupun kedua calon mempelai, hal  ini mempengarui  terhadap  pola  pikirnya, bahwa  jika  seandainya mereka  tidak segera  dikawinkan  akan  terjadi  hal-hal yang  tidak  diinginkan  yang  secara spikologis  terjadi  ketakutan  akan  terjadi  akibat  yang  lebih  buruk  terhadap  diri anaknya khususnya terhadap anak gadisnya.

Disamping  itu  ada  kecendrungan masyarakat  tentang  pendidikan  agama, yang prospeknya  tidak secerah pendidikan umum, orang  tua sebagian cendrung melarang anak gadisnya melanjutkan ke pesantren selepas   lulus SD setelah 1-2 tahun di pesantren baru   diambil kembali kemudian dikawinkan karena mereka dianggap telah mampu berumah tangga.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar